Senin, 24 Oktober 2011

SIRI' Titipan Langit..




Irdam, lelaki lajang berdarah bugis yg lahir dan besar di kota Makassar 35 tahun silam, lelaki yg cukup mapan dgn profesinya sebagai karyawan tetap di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ternama di kota Makassar, dari segi usia tentunya dia sudah cukup matang untuk hidup berkeluarga, namun kesibukan kantor yang lebih banyak menyita waktu, pikiran dan tenaga sepertinya menjadi alasan utama sehingga Irdam belum menunaikan Sunnah Rasul itu. Alasan ini mungkin sepele dan sangat sederhana di mata orang-orang tua yg hidup dipedalaman, tapi fenomena ini cukup banyak terjadi di Kota Metropolitan dgn peradaban modern yg terus mengikis nilai-nilai budaya lokal.
Bagi seorang Irdam, lelaki dgn wajah biasa-biasa saja, soal pernikahan bukanlah perkara gampang, mencari dan menentukan pendamping hidup tak semudah memilih sandal jepit dipasar senggol, masih terngiang jelas ditelinganya pesan spiritual dari seorang Kyai semasa dia bersekolah di Madrasah Aliyah (sederajat SMU) dulu bahwa jika ingin memilih seorang Wanita utk menjadi pendamping hidup maka yang paling pertama adalah : pilihlah ia karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya dan karena agamanya, tapi jika  kamu ingin selamat dunia dan akhirat maka pilihlah Wanita yang baik agamanya…. Sungguh satu persoalan yg cukup rumit bagi Irdam, menemukan wanita sperti itu butuh penelusuran yg cukup lengkap disertai data-data rekam jejak masa lalu wanita tersebut, bagaimana pergaulannya, bagaimana kondisi keluarganya, seperti apa kehidupan agamanya, dan yang tak kalah pentingnya juga karena butuh waktu utk bertaaruf, menemukan chemistry diantara mereka. Sebuah pengembaraan MAHABBAH yang cukup terjal dan berliku utk menuju puncak sakral yaitu PERNIKAHAN….

Senja di akhir bulan Februari itu terasa sangat hangat,, siluet merah nampak memayungi langit, desiran angin barat membawa senandung buluh perindu dari para perindu di Negeri Rantau… Irdam termenung diteras rumahnya yg sejuk, sambil menikmati secangkir Capucchino cita rasa coklat Italia, ditemani sepiring pisang goreng keju buatan ibu. Senja yg hening, baginya hari ini  adalah momentum yang takkan terlupakan seumur hidupnya, siang tadi prosesi Ma’duta (Melamar) telah dilalui dgn lancar, Wanita yg terpilih itu bernama Ayumi Saraswaty, sebuah nama yg indah secantik wajahnya yg ayu dan lembut, tubuhnya yg tinggi semampai, bekerja sebagai Pegawai disalah satu Instansi di Kota Makassar. Wanita ini dikenalnya melalui sebuah situs jejaring sosial di internet, perkenalan yg singkat dan unik, karena semua serba kebetulan dan tanpa terencana, tapi getar-getar Cinta itu hadir mengurai logika, meleburkan sekat-sekat ego, memenjarakan rasa dalam sbuah Rindu yg terasa lebih lezat dari kue brownies coklat…. Dan irdam memutuskan utk memilih wanita itu,… Ahhhh,, Cinta memang selalu penuh kejutan..

Hari yang dinanti pun tiba, 17 April jam 10.00 WITA, ijab qabul terlaksana dgn lancar, tanpa terbata-bata irdam melafalkannya, tersungging senyum bahagia, akhirnya Wanita ini telah menjadi Halal baginya, wanita yang menjadi pelabuhanPhinisi Hatinya” setelah mengarungi Samudera dalam Pengembaraan MAHABBAH. Dengan mengucap Basmalah irdam mencium kening Ayumi sebagai tanda Cinta dan kasih sayang, dan Ayumi pun mencium tangan Irdam, lelaki terbaik yg dipilihkan Tuhan untuknya. Upacara Sakral “Tudampenni” yg dihiasi ornament-ornamen lokal khas Bugis Makassar berlangsung sangat meriah.

…… 18 April jam 07.00 pagi,  Irdam berdiri tegak tak bergeming sedikitpun di jendela kamar, pandanganx menerawang jauh keluar, tatapan itu lurus dan penuh beban ribuan ton, sudah hampir satu jam dia berdiri tanpa suara, hanya asap rokok yang terus mengepul dari mulutnya, disudut ranjang pernikahan berwarna merah jambu, ayumi duduk menunduk, air matanya menetes disertai isakan tangis yg tersendat-sendat. 
                “Ayumi, masih bisakah esok hari kamu bertahan hidup dengan saya? Disaat Cinta dan Kasih sayang itu tak ada lagi untukmu?, sanggupkah kamu menjalani hidup dgn saya sedangkan kebencian ini begitu kuat melekat kepadamu? Mengapa tidak dari awal kamu jujur pada saya? Kenapa mesti saya tahu semua setelah saya memilih untuk menikahimu?” nada suara Irdam meninggi, lembut tapi sangat menusuk.
Tangis ayumi semakin keras, dia beranjak bersimpuh memeluk erat kaki suaminya, tapi tak sedikitpun irdam bergeming, dia tetap kokoh berdiri, pandangannya menerawang jauh,  dia tak pernah menyangka bahwa Wanita yang dia nikahi ini ternyata sudah tidak Perawan, tak ada darah perawan yg memancar dimalam pertama, dan wanita ini mengakui kekhilafan “sebuah dosa terindah” yang telah dia lakukan dengan mantan pacarnya sebeleum mengenal irdam.
                “Kak irdam, maafkan saya,, maaf beribu maaf karna saya tidak jujur kepada kakak sebelum pernikahan kita, karena saya takut jika saya jujur tentang keadaan saya pasti kakak tidak jadi menikahi saya” lirih tapi penuh bulir-bulir air mata, ayumi memohon kepada suaminya.
                “dik ayumi, bertahun-tahun saya tegar menjaga keperjakaan demi sebuah komitmen dan  niat akan saya persembahkan kepada  Wanita perawan yang menjadi calon Ibu utk anak-anak saya kelak, saya simpan rapi sebentuk Cinta untuk Wanita Salehah yang kelak akan bertahta di Hati saya hingga di akhir usia saya nanti, tapi ternyata saya telah salah memilihmu…… saya kira semua cukup sampai disini, saya kira pasti kamu takkan mungkin bisa bertahan hidup dengan lelaki yang tak lagi Mencintaimu…. Perpisahan adalah jalan terbaik untuk kita demi menjaga nama baik dan SIRI’ keluarga kita…” Talak satu telah keluar dari lisan Irdam….!
                “ahhhh,, Cinta,,, kau telah menusukku terlalu dalam, sangat perih… hidup memang kadang tak adil…” gumam Irdam dalam hatinya yang telah terkoyak….

Pituppulo  Lima Juta upake madduta,
Wassele resoku lima taung ittana,
Nakullena kasi nabelleanga sanreseng
Janda de’ nengka nabotting kasi ulolongeng

(potongan syair lagu bugis ini mewakili perasaan Irdam yg hancur meng-abu.., dia menuliskannya dalam buku e-diary dilaptopnya)


Watampone, 9 Oktober 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar